Friday, 2 March 2012

Pindah-pindah.

Pertama kali gue kejakarta untuk kuliah, gue tinggal dirumah tante gue. Rumahnya gak besar, tapi cukup bisa membahagiakan penghuni-penghuninya. Hal yang paling gue nggak suka dari rumah tante gue adalah gue harus melewati gang kecil dan sempit dengan berbagai macam kejadian sebelum sampai kerumahnya. Seperti melihat ibu-ibu yang berkumpul sambil merokok, ibu-ibu lagi mencuci baju sambil teriak-teriak ‘BAPAK!!! AMBIL SABUN COLEK!!!’ atau ‘RINO!! JANGAN NGUBEK-NGUBEK GOT!!!! (selokan)’, anak kecil lagi mandi dipinggir jalan, dan membiarkan hidung gue dipenuhi bau busuk seperti bau taik. Gue harus bisa menerima penyiksaan seperti itu selama 5 menit setiap gue mau pergi atau mau pulang. Bayangkan, seorang manusia biasa harus melihat anak kecil mandi, itu pelecehan meeenn. Apalagi kalau melihat anak kecil ngubek-ngebuk selokan yang berisi air hitam kemudian dia mengambil segenggam taik dari selokan itu. Astaga, siapapun! Culik gue sekarang!!

Dirumah itu ada dua orang adik sepupu gue. Dua-duanya laki-laki. Mereka masih ingusan. Ingusnya suka meluber kemana-mana. Gue tinggal dirumah mereka sekitar satu tahun. Gue nggak begitu ingat apa yang terjadi sampe gue memutuskan untuk pindah dan ngekos. Yang gue ingat cuma satu hal, waktu gue mau pamitan sama tante gue, dia keluar dari WC dalam keadaan nggak telanjang dan terisak-isak menangis. Hidungnya memerah hingga pipi. Terdengar suara tarikan ingusnya sambil ngomong. Rambutnya acak-acakan. Terus gue sama tante gue ini peluk-pelukan erat banget. Gue berasa hidup didalam sinetron waktu itu. Padahal gue masih tinggal dijakarta, bukan pindah ke planet mars dan gak balik-balik lagi. Drama sekali.

Sesampai dijakarta, dirumah tante gue tepatnya, gue merasa selain tante gue dan keluarganya, nggak ada yang gue kenal dijakarta. Rasanya seperti datang kedunia baru. Lingkungan baru. Walaupun akhirnya gue kenal sama orang-orang yang busuknya sebusuk-busuknya bangke dijakarta. Kalau tante gue ninggalin gue, gue pasti kayak gelandangan gila kesasar dijakarta. Kalau orang jatuh cinta bakal buta hatinya, gue bakal buta beneran. Bersyukur sekali itu tidak terjadi.

Pindah dari rumah gue ke rumah tante gue terus ngekos, hal yang sama dari perpindahan itu adalah nyokap gue dan tante gue melakukan hal yang sama saat gue mau berangkat. Mewek sampai ingusnya meluber kemana-mana, dan hal itu juga terjadi sama gue. Tisu ataupun sapu tangan udah nggak sanggup menampung ingus gue, mama, dan tante. Gue rasa daster cukup untuk menampung semua ingus. Sayangnya entah daster siapa yang rela gue ingusin.

Awal-awal gue ngekos, itu rasanya seperti gue orang yang paling bebas sebebas-bebasnya. Seperti nara pidana keluar dari penjara. Lebih bahagia lagi daripada itu sepertinya. Dijidat gue ini ada cap ‘anak mami’. Cap itu dianugerahkan ke gue karena selama 17 tahun gue hidup dibumi ini, gue jarang banget diijinin untuk jalan-jalan sama teman-teman gue. Hampir gak boleh malah sama bokap nyokap gue. Makanya pas gue ngekos, itu kayak ‘akhirnya gue bisa menghirup oksigen’. Kayak orang gila, mengap-mengap hirup udara. Tiap hari keluar sama teman-teman gue. Gilanya akut parah. Dulu, gue pernah dengar cerita dari mantan pembantu gue kalau tetangganya ada yang memperlakukan anak perempuannya seperti gue. Sekalinya anak itu keluar, dia langsung dengan lahapnya dan tanpa pikir panjang memakan tanah. Katanya itu karena dia nggak pernah liat tanah. Tapi menurut gue dia obsesi sama tanah. Dia kira itu akan semanis cokelat. Nah, gue nggak separah itu. Lebih baik sedikit dari dia. Gue masih tau kalau tanah itu bukan untuk dimakan. Apalagi kalau ada e’ek disitu.

No comments:

Post a Comment